Get the flash player here: http://www.adobe.com/flashplayer
Jailhouse Blues, ENDE 1934 - 1938
Teks: Lucia Dianawuri & Karolus Naga
Foto: Karolus Naga
Keluar masuk bui ternyata tak memadamkan bara di dalam dadanya, seorang pemuda yang dijuluki Putera Sang Fajar; Sang Proklamator. Saya masuk penjara untuk memperjuangkan kemerdekaan dan saya meninggalkan penjara dengan pikiran yang sama, tekadnya kukuh.
Pemerintah yang kewalahan menghadapi sepak terjangnya, mengusirnya jauh dari Jawa. Pula jauh dari Digul, dimana orang sepertinya dirumahkan. Ia dikirim ke Ende, sebuah kota kecil di tengah Pulau Bunga yang membuatnya menjadi elang yang dipotong sayapnya.
Pagi itu, almanak menunjukan 14 Januari 1934, angin pantai Ende menghembuskan kabar kedatangan sebuah kapal angkut berlabel Van Rieebeck. Sebuah keluarga kecil melangkah keluar. Sang pemimpin keluarga menghirup udara pagi dalam-dalam dan memulai kehidupan baru sebagai orang buangan.
Tidak ada penyambutan meriah sebagaimana yang sering diterimanya takala membakar semangat di sejumlah kota pulau Jawa. Hanya sedikit yang tahu kedatanganya dan semua menutup diri. Hanya sekelompok opas pemerintah bagai nazar di ujung cemara yang menyambutnya.
Kepadanya kunci sebuah rumah diberikan untuk masa empat tahun. Sebuah tempat untuk menghabiskan malam sepi, mengendurkan saraf-saraf revolusi di kepala, menemukan kedamaian dan juga sebuah tempat menumbuhkan sayap-sayap patahnya. Rumah sederhana tidak bernomor menjadi saksi bisu bagaimana Ia tetap bebas merdeka walau terpenjara dalam kesunyian.
Keberadaanya sangat tidak mencolok dan hidup harmonis di tengah penduduk Ende yang kebanyakan berprofesi sebagai nelayan ataupun petani. Mereka yang tidak paham dengan isi di kepalanya diajak bersandiwara. Sementara sisanya, yang memilih selibat, adalah sahabat mengadu cakar dan paruh. Dari mereka, ia mematangkan ke-Islam-anya 'di bawah bendera revolusi'.
Suasana sunyi senyap menjadi aura sehari-sehari yang melingkupi rumah kediamanya. Laut, gunung, bukit dan lembah disekeliling Ende telah menjadi benteng-benteng kuat untuk memenjara sekaligus menjadi sumber inspirasi bagi seorang bakal pemimpin Indonesia.
Berbagai hal yang terjadi selama kurun empat tahun serta pergaulannya dengan seluruh alam lanskap juga orang-orang di Pulau Bunga itu adalah sebuah proses samadi panjang yang amat melelahkan. Saat-saat istirahnya di bawah pohon sukun adalah momen yang amat menentukan. 'Dasar dan Tujuan' yang hingga kini masih menjadi jiwa dan benang merah dari setiap ke-Indonesia-an anak negeri dilahirkan disana. Tak jauh dari rumah kecilnya, yang diberikan kepadanya pada tahun 1950.
'kalau anak mau, ambil saja.'
'bukan saya, melainkan pemerintah.'
'bukan saya, melainkan pemerintah.'
Biografi:
Karolus Naga; fotografer lepas, memiliki ketertarikan pada foto dokumenter dan foto jurnalistik dan pernah mengikuti Angkor Photography Workshop di Siem Reap - Kamboja. Lucia Dianawuri; penulis lepas, sekarang sedang menyelesaikan studi di program magister Ilmu Religi dan Budaya Sanata Dharma.
Keduanya berdomisili di Jogjakarta dan bersama-sama mendirikan galeri foto dokumenter citrakostha.
Mengamankan Yang Pertamaxx........Om....
ReplyDeleteSajian BW Dan Artikel Yang Manis.......
ReplyDeletemantap!
ReplyDeletekereennn gilaa.... bkin geleng geleng kepala
ReplyDelete