Macapat di Pojok Keraton - Fikri Adin

Get the flash player here: http://www.adobe.com/flashplayer

Photo & Text ©Fikri Adin - www.fikriadin.wordpress.com

Sore itu seperti sore-sore yang lain, ketenangan suasana lingkungan Kraton Yogyakarta, dihiasi dengan alunan merdu tembang-tembang Jawa dari para abdi dalem maupun para pecinta tembang-tembang Jawa. Dari salah satu sudut Kraton Yogyakarta, yaitu di Pamulangan Sekar macapat (Tempat Belajar Tembang Macapat) KHP Kridha Mardhawa, terdengar lantunan sajak-sajak berirama yang di dalamnya tersirat nasehat, larangan, doa, maupun kisah sejarah Kraton Yogyakarta. Sejumlah siswa Pamulaungan Sekar Macapat, yang mayoritas telah berusia lanjut, tampak bersemangat melantunkan tembang-tembang seiring irama dari pengajar.
Di sebuah ruang berukuran 4 x 3 m, dan dengan hanya diterangi lampu neon 20 watt, macapat diajarkan , Resminya kegiatan ini disebut Sekolah Macapat. Di sini macapat diajarkan dengan sungguh- sungguh, dengan guru yang menguasai metode mengajar.

“Ji.. Mo.. Ji.. Ro.. Ji..Ro.. Lu.., Monggo (mari-Jawa red)..” suara lantang KMT Projosuwasono (65) mengambil nada dalam bahasa Jawa untuk memulai tembang. Para siswanya segera mengikuti irama ketukan sebilah bambu di papan tulis, yang meloncat-loncat dari nada ke nada. Sebuah tembang pun mulai mengalun lantang.

Gurat-gurat usia yang tegas tergambar di wajahnya, tampaknya tak menghalangi semangat KMT Projosuwasono dalam mengajar tembang Macapat. Dihadapan siswanya, suaranya masih terdengar lantang menyanyikan nada-nada tinggi. Tak ada yang berubah, meski sore itu mungkin adalah kesekian ratus kalinya tembang itu dinyanyikan.
Pak Prodjo, demikian panggilan sehari-harinya, dibantu dua guru lagi ialah Brotoasmoro dan Prawoto. Tiga guru ini agaknya memadai, karena sekolah ini pun hanya mempunyai tiga kelas: I, II dan III. Tiap kelas hanya masuk seminggu sekali di hari yang berlainan (Selasa Kamis dan Minggu), Jumlah murid seluruhnya 30 orang, rata-rata berusia di atas 30 tahun. Syarat menjadi siswa di sini bisa membaca Latin.

Biaya sekolah sangat murah: Rp 10000 per bulan. Tiga guru itu pun hanya mendapat honorarium Rp 10000 tiap kali datang mengajar untuk sekitar dua jam setengah, pelajaran dimulai pukul 16.00 dan selesai pada pukul 17.30 Kebanyakan siswa adalah pensiunan pegawai negeri, guru sekolah, anggota ABRI dan pegawai kraton Yogya, namun ada beberapa juga Orang asing yang kuliah di Yogyakarta juga mengikuti Kursus macapat tersebut.
Metode mengajarnya masih tradisional. Hanya menirukan guru menembang, Mereka memang tidak perlu menulis. Tugas para murid Itu hanya menatap ke depan, menirukan guru menembang. Mula-mula Pak Prodjo, (65) menembangkan Sekar Pangkur. Maka ruang pengap itu seperti berubah, digetarkan suara seorang tua. Seperti terlupakan bau apek di situ, yang ada hanya suara nyaring halus yang melagukan Duda Kasmaran (Duda Jatuh Cinta). Selesai Pak Prodjo, murid-murid menirukan bersama-sama. Sesudah itu satu per satu menembangkan lagi lagu tadi. Demikianlah pelajaran berjalan dari minggu ke minggu.
Bila Pak Prodjo menganggap ada siswa yang sudah menguasai pelajaran, ujian diadakan. Para pengujinya terdiri dari para ahli macapat yang kini masih ada di Yogyakarta. Untuk lima tahun terakhir ini baru ada dua kali ujian kenaikan kelas.

Kiranya tidak berlebihan jika mengatakan mereka adalah sebagian dari sedikit orang yang masih setia mempertahankan dan menjaga kelestarian budaya Jawa khususnya. Sebuah pengabdian sederhana yang mereka hidupi selama ini, pastinya bisa menjadi inspirasi bagi siapapun yang mencintai budayanya.

*Fikri Adin
Lahir di pati 11 Juli 1990, Fikri Adin adalah salah satu pendiri Refleksi Photography FISIP Unsoed pada tahun 2010, belajar fotografi secara otodidak sejak tahun 2009, Mengikuti workshop Applause#1 dengan tutor oleh Dwi Oblo (Reuters & NG ) dan asisten tutor Karolus Naga, selain itu juga pernah mengikuti workshop fotojurnalistik yang diselenggarakan di UNS pada tahun 2009 dengan pembicara Oscar Motulloh(kurator GFJA), Julian Sihombing(Kompas), Tantyo Bangun (NG). karyanya masuk 10 Besar Anugrah PFI (Pewarta Foto Indonesia ) 2011, karyanya dapat dilihat di fikriadin.wordpress.com

2 comments:

  1. serius syaratnya cuma bisa baca latin? padahal hurufnya mlungker2 gitu.

    tulisan sitenya fikri adin mgkn bisa dibikin kayak gini

    fikri adin

    ReplyDelete
  2. hanacaraka huruf jawa yang terlupakan, sayang padahal banyak makna filosofis yang terkandung di dalamnya...

    ReplyDelete